Wednesday, June 13, 2007

Layum

Layum. Begitulah bapak mengajariku untuk memanggilmu. Jingga warnamu membuat anggun dilihat.

Aku masih ingat, dulu, setiap sore tiba, bapak mengajakku naik sepeda. Aku memboncengnya. Keliling, melewati perkebunan penduduk. Menunggu Layum tiba. Hanya satu tujuan, mengajariku tentang keindahan.

Kau datang menjelang matahari tenggelam. Dan kau pergi saat malam mulai menyapa.

Singkat memang, kau hadir menemaniku. Tapi itu sudah cukup untuk aku bisa selalu mengenangmu.

Bahkan sampai saat ini. Aku masih ingat keindahanmu. Keanggunanmu.

Namun, asap hitam hasil knalpot bajaj, Kopaja, Metromini, PPD, semua bercampur terbang menutupimu.

Dan, kini Layum tak tampak lagi...

Aku tidak bisa melupakan keindahanmu. Lagi-lagi, seperti bapak bilang, jangan mudah berpaling!

Pun, setelah kehilangan Layum, akhirnya sisi batinku terisi: Pelangi. Yang, meski warnanya lebih indah, datang hanya sesekali. Saat hujan dan panas datang bersamaan.

Dan, aku masih ingat seperti yang diajarkan bapak dulu. Saat hujan tiba itu. 22 tahun lalu. Masih di atas sepeda tua merahnya. Dalam keadaan basah kuyup dia berkata: Maha Besar Tuhan, yang telah menciptakan keindahan di dunia ini.


Untuk Layum, yang saat ini sedang merenungi hidup. Menjelang bertambahnya umur. Maaf, tidak bisa memberimu warna ungu seperti yang kau pinta.